BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Quran sebagai kitab terakhir yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW memiliki keutamaan dan
keistimewaan dibanding kitab-kitab sebelumnya. Salah satu keistimewaan tersebut
adalah diturunkannya al-Quran dalam tujuh huruf (sab’atu ahruf). Para
ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan makna tujuh huruf al-Quran ini.
Al-Quran sebagai pedoman utama umat
islam, diturunkan dalam bahasa arab. Orang Arab sendiri memiliki beraneka ragam
dialek yang membedakan antara satu suku dengan suku lainnya. Setiap kabilah
atau suku tersebut mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang
tidak dimiliki oleh kabilah lain. Apabila orang Arab berbeda dialek dalam
mengungkapkan sesuatu, maka Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW
menyempurnakan makna kemukjizatannya karena mencakup semua huruf dan wajah
qiraah pilihan diantara dialek-dialek Arab tersebut.
Makalah ini akan memaparkan
tentang tujuh huruf al-Quran tersebut. Beberapa nas yang menjelaskan tentang
tujuh huruf al-Quran, serta perbedaan pendapat diantara ulama tentang ke-tujuh
huruf Al-Quran tersebut.
B.
Rumusan Masalah
- Apakah yang dimaksud dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf) Al-Quran itu?
- Bagaimana pendapat para ulama mengenai Al-Quran yang diturunkan dalam tujuh huruf tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Al-Quran Diturunkan dalam Tujuh Huruf
Al-Quran sebagai pedoman utama umat
islam, diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan bahasa arab. Sebagaimana
difirmankan dalam QS. Yusuf ayat 2:
انا
انزلنا ه قرانا عربيا لعلكم تعقلون
Artinya: “Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Dalam menafsirkan ayat di atas,
Rasyid Ridha (dalam Wahid) menyampaikan bahwa Al-Quran disampaikan dengan
bahasa Arab supaya dapat diketahui berbagai hal tentang agama, berita-berita
dan kisah para Rasul, ilmu dan hikmah, peradaban, serta politik. Turunnya
Al-Quran dengan bahasa Arab bertujuan untuk memberi informasi tentang apa yang
dibutuhkan oleh manusia, baik menyangkut urusan agama maupun urusan dunia.[1]
Jika kita mempelajari bahasa arab
secara mendalam, akan ditemukan bahwa bahasa yang dipakai oleh masyarakat Arab
memiliki beraneka lahjah (dialek). Perbedaan itu terletak pada cara
pengucapan maupun penulisan suatu kata. Setiap kabilah atau suku mempunyai
karakteristiknya sendiri-sendiri, kecuali suku Quraisy yang masih menjaga kemurnian
bahasa Arab mereka.[2] Hal inilah yang menjadi alasan logis diturunkannya Al-Quran
dengan bahasa Arab Quraisy.
Meskipun diturunkan dalam bahasa
arab Quraisy, bukan berarti tertutup terhadap dialek selain bahasa Quraisy.
Karenanya, Allah menurunkan Al-Quran tidak hanya dalam satu bahasa (dialek).
Dalam sebuah hadis yang mengemukakan
mengenai turunnya Al-Quran dengan tujuh huruf. Dari Abbas r.a, Rasulullah
SAW berkata:”Jibril membacakan (al-Quran) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian
berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun
menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.” (HR Bukhari-Muslim)[3]
Masih banyak hadis-hadis lain yang
mengemukakan mengenai sab’atu ahruf dalam al-Quran. Salah satu alasan
mengenai diturunkannya al-Quran dalam tujuh huruf ini adalah agar umat muslim
dapat membacanya dengan mudah sesuai dengan bahasa atau dialeknya
masing-masing.
- B. Pendapat Para Ulama mengenai Tujuh Huruf Al-Quran
Para ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan tujuh huruf al-Quran tersebut. Sehingga Ibn Hayyan (dalam
al-Qattan) mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh
huruf menjadi tiga puluh lima.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat tersebut
saling tumpang tindih.
Sebagian ulama memahami bahwa kata
‘tujuh’ disini tidak dimaksudkan dengan angka tujuh (7) yang sebenarnya.
menurut mereka, tujuh disini hanya menunjukkan banyaknya kemungkinan cara
membaca Al-Quran yang diperbolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslim
yang pada pokonya terdiri atas orang-orang Arab yang menggunakan berbagai
dialek ketika masa diturunkannya al-Quran. Angka tujuh disini merupakan batas
maksimal dari kemungkinan-kemungkinan bacaan Al-Quran yang diperbolehkan.[4]
Untuk lebih jelasnya, berikut
akan dikemukakan sebagian dari pendapat-pendapat ulama tersebut.
- Maksud tujuh huruf adalah tujuh bentuk lafal yang berbeda tentang satu kata yang memiliki satu makna sama. Sebagai contoh, kata perintah untuk datang dapat diungkapkan dengan menggunakan kata اقبل، تعال، عجل، اسرع، قصدي، نحوي.
- Ibn Qutaibah menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh bentuk perubahan, yaitu:
- Perubahan harakat (tanda baca)
- Perubahan pada kata kerja
- Perubahan pada lafal
- Perubahan pada pergantian huruf yang sama makhraj-nya
- Perubahan dengang cara mendahulukan dan mengakhirkan
- Perubahan dengan penambahan atau penguranga kalimat
- Perubahan dengan penggantian kata
- Pendapat yang menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh bahasa (dialek) bagi tujuh kabilah bangsa Arab. Sebagian ayat Al-Quran turun dalam bahasa Quraisy, sebagian yang lain dengan bahasa Tamim, bahasa Huzail, bahasa Azd, bahasa Rabi’ah, bahasa Hawazin, dan bahasa Sa’d Ibn Bakr.
- Sebagian ulama menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh ashnaf (macam) istilah dalam ushul fiqh. Ketujuh macam tersebut adalah amr (perintah), nahy (larangan), halal, haram, muhkam (jelas, kukuh), mutasyabih (samar), dan amtsal (perumpaan).
- Pendapat lain menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh qiraat.
C. Dalil al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf
Ada beberapa dalil hadist yang menjelaskan bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf. Antara lain :
- حدّثَنا عبدُ اللهِ بنُ يوسُفَ أخبرَنا مالكٌ عنِ ابنِ شِهابٍ عن عُروةَ بنِ الزّبَيرِ عن عبدِ الرحمنِ بنِ عبدٍ القاريّ أنهُ قال: سمعتُ عمرَ بنَ الخَطّابِ رضيَ اللهُ عنهُ يقول: «سمعتُ هشامَ بنَ حَكيمِ بنِ حِزامٍ يَقرأُ سورةَ الفُرقانِ على غيرِ ما أقرَؤها، وكان رسولُ الله صلى الله عليه وسلّم أقرَأَنيها، وكِدْتُ أن أعجَلَ عليه، ثمّ أمهلتُهُ حتّى انصَرَفَ، ثمّ لبّبْتُهُ بردائِه فجئتُ بهِ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم فقلتُ: إني سمعتُ هذا يقرأُ على غيرِ ما أقرَأْتَنيها. فقال لي: أرسِلْهُ. ثمّ قال لهُ: اقرَأْ. فقرأَ. قال: هكذا أُنزِلَتْ. ثمّ قال لي: اقرَأْ. فقرأتُ. فقال: هكذا أُنزِلَتْ، إنّ القرانَ أُنزِلَ على سبعةِ أحرُفٍ، فاقرَؤوا منهُ ما تَيسّرَ».
“Meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukhari bahwa; “Umar bin H{atta>b berkata: “Aku
mendengar Hisha>m bin H{aki>m membaca surat al-Furqa>n di masa hidupya
Rasulullah saw, aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan
beberapa huruf yang belum pernah Rasulullah saw membacakannya kepadaku sehingga
aku hampir beranjak dari s{alat, kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah
ia salam aku menarik sorbannya dan bertanya: “Siapa yang membacakan surat ini
kepadamu?”. Ia menjawab: “Rasulullah saw yang membacakannya kepadaku”, aku
menyela: “Dusta kau, Demi Allah sesungguhnya Rasulullah saw telah membacakan
surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”.
Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah saw
lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca
surat al-Furqa>n dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan
kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat al-Furqa>n ini
kepadaku”. Rasulullah saw menjawab: “Hai ‘Umar! lepaskan dia. “Bacalah
Hisha>m!”. Kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia
membacanya. Rasululllah saw bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan” sambil
menyambung sabdanya: “Bahwa al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf maka
bacalah yang paling mudah!”. [6]
- حدّثنا مُحمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ نُمَيْرٍ . حَدَّثَنَا أَبِي. حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَيسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ جَدِّهِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ. فَدَخَلَ رَجُلٌ يُصَلِّي. فَقَرَأَ قِرَاءَةٍ أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ. ثُمَّ دَخَلَ آخَرُ. فَقَرَأَ قِرَاءَةً سِوَى قِرَاءَةِ صَاحِبِهِ. فَلَمَّا قَضَيْنَا الصَّلاَةَ دَخَلْنَا جَمِيعاً عَلَى رَسُولِ اللّهِ . فَقُلْتُ: إِنَّ هذَا قَرَأَ قِرَاءَةً أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ. وَدَخَلَ آخَرُ فَقَرَأَ سِوَى قِرَاءَةِ صَاحِبِهِ. فَأَمَرَهُمَا رَسُولُ اللّهِ فَقَرَآ. فَحَسَّنَ النَّبِيُّ شَأْنَهُمَا. فَسُقِطَ فِي نَفْسِي مِنَ التَّكْذِيبِ. وَلاَ إِذْ كُنْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا رَأَى رَسُولُ اللّهِ مَا قَدْ غَشِيَنِي ضَرَبَ فِي صَدْرِي. فَفِضْتُ عَرَقاً. وَكَأَنَّمَا أَنْظُرُ إِلَى اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَقاً. فَقَالَ لِي: «يَا أُبَيُّ أُرْسِلَ إِلَيَّ: أَنِ اقْرَإِ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ: أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي. فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّانِيَةَ: اقْرَأْهُ عَلَى حَرْفَيْنِ. فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ: أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي. فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّالِثَةَ: اقْرَأْهُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ. فَلَكَ بِكُلِّ رَدَّةٍ رَدَدْتُكَهَا مَسْأَلَةٌ تَسْأَلُنِيهَا. فَقُلْتُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأُمَّتِي. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأِمَّتِي. وَأَخَّرْتُ الثَّالِثَةَ لِيَوْمٍ يَرْغَبُ إِلَيَّ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ. حَتَّى إِبْرَاهِيمُ ».
“Diriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia
berkata: “Aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah lelaki, ia shalat kemudian
membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi lelaki lain membaca
berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama”. Setelah kami selesai s{alat, kami
bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah saw, lalu aku bercerita: “Bahwa si
lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan kawannya ini membaca berbeda
dengan bacaan kawannya yang pertama”. Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan
keduanya untuk membaca.
Setelah mereka membaca Rasulullah saw menganggap baik
bacaannya. Setelah menyaksikan hal itu, terhapuslah dalam diriku sikap untuk
mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa Jahiliyyah. Nabi menjawab
demikian tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan,
ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang
Maha Agung.
Setelah melihat saya dalam keadaan demikian, beliau
menegaskan pada diriku dan berkata: “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca
al-Qur’a>n dengan suatu huruf lahjah
(dialek)”, kemudian aku meminta pada Jibril untuk memudahkan umatku, dia
membacakannya dengan huruf kedua, akupun meminta lagi padanya untuk memudahkan
umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya. “Hai Muhammad, bacalah
al-Qur’a>n dalam 7 lahjah dan terserah padamu Muhammad apakah setiap
jawabanku kau susul dengan pertanyaan permintaan lagi”.
Kemudian aku menjawabnya: “Wahai Allah! Ampunilah umatku,
ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat dimana
semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibra>hi>m as”.[7]
- حدثنا أَحْمَدُ بنُ مَنِيع أخبرنا الْحَسَنُ بنُ مُوسَى أخبرنا شَيْبَانُ عن عَاصِمٍ عن زِرِّ بنِ حُبَيْشٍ عن أُبيِّ بنِ كَعْبٍ ، قالَ: «لَقِيَ رَسُولُ الله جِبْرَيلَ، فَقَالَ: «يَا جِبْرَيلُ إِنِّي بُعِثْتُ إِلَى أُمَّةٍ أُمِّيينَ مِنْهُمْ العَجُوزُ وَالشَّيْخُ الكَبِيرُ وَالغلاَمُ وَالْجَارِيَةُ وَالرَّجُلُ الَّذِي لَمْ يَقْرَأْ كِتَاباً قَطُّ،» قالَ: يَا مُحمَّدُ إِنَّ القُرآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ» .
قال
أبو عيسى: هذا حديثٌ حسنٌ صحيحٌ وقدْ رُوِي مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عن أُبيِّ بنِ
كَعْبٍ.
“Riwayat Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan: “Rasulullah saw
berjumpa dengan Jibri>l di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata: “Kemudian
Rasul berkata kepada Jibri>l bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada
yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak”. Jibri>l menjawab:
“Perintahkan, membaca al-Qur’a>n dengan tujuh huruf”. Imam al-Turmudhy
mengatakan: “Hadith ini hasan lagi shahih”.[8]
Dari beberapa hadith yang disebutkan di atas, Tidak terdapat
nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’ah ah{ruf. Sehingga menjadi
hal yang lumrah kalau para ulama’, berdasarkan ijtihadnya masing-masing,
berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. al-Suyu>t{i> dalam
kitabnya al-It{qa>n fi> al-‘Ulu>m al-Qur’a>n mengatakan
bahwa perbedaan ulama’ dalam masalah ini sekitar empat puluh pendapat.[9] Perbedaan ulama’ mengenai pengertian sab’ah ah{ruf
ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadith-hadith tentang
tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz{ sab’ah dan ah{ruf
yang masuk kategori lafaz{-lafaz} mushtarak, yaitu lafaz{-lafaz{ yang mempunyai
banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis
penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang
periwayatan bacaan al-Qur’a>n yang memang beragam.
D.
Hikmah Diturunkannya Al-Quran dalam Tujuh Huruf
Al-Quran yang diturunkan dengan
tujuh huruf, terlepas dari pendapat-pendapat para ulama, memiliki hikmah yang
dapat kita ambil.
- Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca-tulis, terutama karena perbedaan dialek diantara para suku bangsa Arab.
- Bukti kemukjizatan Al-Quran bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab. Dengan demikian, setiap orang Arab dapat melafalkan huruf-huruf dan kata-kata dalam Al-Quran sesuai dengan irama yang telah menjadi watak atau karakter masing-masing orang Arab. Kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa mereka, namun terhadap naluri atau karekter kebahasaan mereka.
- Kemukjizatan Al-Quran dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Hal ini menyebabkan hukum-hukum dalam Al-Quran relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam ber-istimbat dan ber-ijtihad menggunakan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
Komentar
Posting Komentar